”Saatnya ku bercerita. Entah apa yang harus ku ungkap.” Sesosok gadis remaja yang tak pernah merasakan ketulusan cinta. Duduk berdampingan dengan sosok wanita sebayanya. ”Katakanlah tentang apa yang ingin kau katakan !” Sahut wanita itu. ”Aku merasa lebih baik mungkin bila aku bisu, aku buta, aku tuli.”Jawab gadis sambil menunjuk alat indera yang ia sebut. ”Mungkin dengan begitu ku takkan pernah melihat keadaan sekitar yang tak pernah melihatku.”Lanjutnya seraya menunduk. ”Seandainya kamu bisu, takkan pernah ada yang tau bagaimana perasaanmu. Bila kamu buta, kamu takkan pernah melihat panorama indah yang diberikan Tuhan. Dan jika kamu tuli, bagaimana kamu bisa belajar tuk mengerti orang lain.” Gadis pun terdiam. Ia diam seribu kata. Matanya yang indah memerah, perlahan terlihat linangan air mata. Wanita hanya diam, seolah tak peduli tentang apa yang terjadi disampingnya. Sesaat suasana berubah menjadi hening. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari kedua sosok manusia itu. Kemudian, ”Menangislah kau selagi kau masih bisa menangis dan mengeluarkan air mata itu. Sebab nanti kan ada saatnya dimana kau tidak dapat melakukan itu. Bahkan jika perlu kau berteriak. TERIAKLAH SEKENCANG-KENCANGNYA KIRAN” Perlahan suasana sunyi hilang dan berubah menjadi teriakan yang menggema. Kiranitania Andalusia, itulah nama gadis remaja yang kesepian. Kiran berlari sambil menangis meninggalkan bangku taman yang ia duduki bersama kakaknya, Qardhafa Qanitania.
”Tuhan, mengapa Engkau berikan semua ini padaku, kenapa harus aku yang mengalaminya. Lebih baik Kau ambil nyawaku ini.” Keluhnya dalam isakkan tangis.. Kiran menangis dikamar yang berhias segala serba putih dengan tempelan banyak bintang dilangit-langit kamar itu. Diatas kasur berbalut sepray hijau seolah menjadi pelabuhan untuk kesedihannya. Terdengar kumandang adzan maghrib dari jam bentuk ka’bah diatas meja belajarnya. Lekas Kiran pun langsung menghapus air matanya dan menuju kamar mandi yang tak berada jauh dari kasur hijaunya itu. Suara sesegukkan masih terdengar dari gadis berusia 19 tahun itu. Usia yang terbilang masih belia tuk hadapi masalah serumit itu. Kiran harus kehilangan sosok kedua orang tua, Bundanya wafat saat melahirkannya, sedangkan ayah Kiran wafat dalam sebuah kecelakaan pesawat saat pergi dinas ke Andalusia. Ayahnya adalah seorang ahli sejarah kebudayaan Timur Tengah, sehingga ia harus pergi ke negara-negara di Timur Tengah. Kiran sangat menyesal atas apa yang ia alami. Semenjak ayahnya pergi, ia selalu sendiri, sebab dua orang kakaknya, Dhafa dan Alex terlalu sibuk dan semenjak wafat ayah mereka, Dhafa dan Alex seperti menyalahkan Kiran. Kiran berjuang hadapi hidup seorang diri. Keluarga besar Kiran pun seolah menyalahkan Kiran atas kepergian orang tua mereka. Bunda mereka wafat saat melahirkan Kiran, kemudian Ayah wafat dalam perjalanan menuju Andalusia, yang merupakan nama belakang Kiran. Kiran sering menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang dialaminya, mengapa harus Andalusia namanya, kenapa harus saat melahirkan ia sang bunda wafat. Adilkah Tuhan memberi semua itu padanya, kasih sayang dari sosok seorang bunda tak didapatnya, kehidupan yang sering membuatnya selalu merasa sedih dan bersalah.
Pagi yang cerah tiba. Sesampainya aku di kampus, Kiran langsung menghampiriku. Ia memberiku sebuah amplop putih bermotif daun-daun hijau. ” Ini apa Ran ?” Tanyaku. ”Aku ingin kamu jaga surat itu, dan aku mau kamu buka surat itu saat aku dan kamu ngga bertemu lagi nantinya.” Jawab Kiran sambil menggenggam tanganku. ”Maksud kamu apa sich ? Aku ngga ngerti. Emang kamu mau kemana ?” Tanyaku kembali penasaran. Namun tak sepatah kata pun yang terucap dari bibir mungilnya yang merah, hanya sebuah senyuman manis yang ku terima.
”Ran, kamu belum jawab pertanyaanku tadi pagi ?!” Tanyaku mengingatkan. Seraya mengambil tas jingjing, Kiran kembali hanya tersenyum. Hari itu ia terlihat sangat aneh, aneh sekali. Saat mata kuliah berlangsung pun ia sering di tegur dosen karena mimik wajahnya yang cantik tak secantik biasanya, ia terlihat melamun. Saat makan siang, ia baru menjawab pertanyaanku yang telah dua kali ku tanyakan.
”Aku mau pergi Sam.” Jawabnya dengan mimik wajah serius.
”Pergi kemana?”
”Ke Andalusia.”
”Kapan?”Tanyaku kembali.
” Besok pagi. Aku harap kamu bisa ikut ke bandara besok.”
”Besok ??? Kenapa mendadak ?” Lanjutku
”Sebenarnya ngga mendadak. Aku udah lama pengen ke Andalusia, kota yang mana adalah nama panjangku.”
”Kamu sama siapa ke sana ? Boleh aku ikut ?”
”Kayaknya ngga usah, aku ngga lama ko’ disana, Cuma mau lihat langsung aja kota kelahiranku dan ingin tau gimana Andalusia sebenarnya.” Jawab Kiran pelan.
”Ooo, ya udah kalau gitu. Aku pasti besok ikut kamu ke airport. Jam berapa kamu pergi ?” ”Mmmh, mungkin sekitar jam 8.”Jawab Kiran dengan raut wajah ragu.
Selepas makan siang pun kami langsung masuk kelas untuk ikut mata kuliah selanjutnya.
Hari keberangkatan Kiran tiba. Cuaca seolah tak bersahabat. Semenjak malam hujan turun dengan hembusan angin yang menusuk tulang. Aku memaksakan diri untuk mandi sepagi mungkin. Dengan blouse biru celana jeans aku siap tuk menancap gas menuju rumah Kiran. Sesampaiku dihalaman rumah mewah bercorak khas bangunan timur tengah, Kiran telah siap dengan segala koper-koper bawaannya. Blouse putih dipadu dengan rok hijau membaluti tubuhnya yang mungil. Tak ketinggalan bros bintang yang cantik menghiasi blouse putihnya. Aku pun tak perlu untuk turun dari mobil karena isyarat Kiran yang memintaku untuk tetap didalam mobil. Ku fikir pun demikian. Aku mengantar Kiran dan nantinya pun aku akan pulang sendiri. Selama perjalanan aku dan Kiran hanya diam. Hanya suara lagu ’with you’ Linkin park yang terdengar. Suasana memang sedang hujan, tapi itu tak membuat Kiran membatalkan kepergiannya ke Andalusia. Untuk memperhangat suasana,
” Ran, kamu jadi pergi ? Cuaca lagi buruk loch?!” Sapaku padanya. Berharap suasana menjadi hangat.
”Aku harus dan akan tetap pergi.”
”Ka’ Dhafa ngga ikut ke airport ?”
”Ngga, mana mau dia meluangkan waktu untukku. Kalaupun mau, itu hanya membuatku menderita. Ka’ Alex pun mungkin ngga tau kalau aku pergi. Oh iya, gimana kabar keluarga kamu ? Udah lama yach aku ngga ketemu mereka. Aku kangen dech sama mereka.” Kiran pun akhirnya bicara. Mungkin itu hanya sekedar basa basi. Tapi ku hargai itu.
”Mereka baik. Aku juga udah lama ngga ketemu mereka, jadi kurang tau juga sech.”
”Seenggaknya kamu masih beruntung masih punya keluarga yang sayang sama kamu dan kamu pun masih bisa merasakan kasih sayang dari mereka,tapi aku....”
”Stop Kiran !!! Aku ngga mau kamu membandingkan itu dengan aku. Kamu masih punya orang yang sayang sama kamu. Ka’ Alex, Ka’ Dhafa, bahkan semua keluarga kamu sayang sama kamu. Mungkin hanya kamu yang ngga menghiraukan itu. Inget kata-kata aku, aku dan semua orang yang kenal ataupun ngga kenal kamu menyayasngi kamu Rin. Kita semua sayang sama kamu.” Emosiku mulai terpancing. Aku pun memberhentikan mobil ke pinggir jalan. Aku ngga mungkin terus mengemudi dengan keadaan emosi.
”Samita, aku tau dan aku juga percaya kalau kamu satu-satunya orang yang mau terus menemani aku. Jadi aku mohon sekarang kamu tenang, aku ngga mau kamu emosi gara-gara aku.Oke ? Please !” Rayu Kiran padaku.
Perlahan mulai ku hidupkan mesin dan kembali berjalan. Jalanan memang sedang licin, sehingga aku ngga bisa mengemudi dengan cepat. Jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan. Aku merasa bersalah, seharusnya Kiran sudah sampai di bandara pukul delapan, tapi pukul setengah delapan pun masih dalam perjalanan.
Akhirnya dalam waktu 15 menit, aku dan Kiran sampai di bandara. Kami pun harus bergegas mengeluarkan semua koper yang akan dibawa. Setelah semua beres, Kiran menghampiriku seraya mengambil tanganku. Ia genggam tanganku seraya berkata ”Sam, maafin aku yach atas semua kesalahan-kesalahan aku ke kamu. Aku pergi. Kamu bisa baca surat yang aku kasih kamu kemarin saat nanti aku pergi. Aku sangat berterima kasih ke kamu. Kamu udah nemenin aku selama ini. Dan.....”
”Udah dech, kita kan Cuma pisah sementara aja. Nanti kita juga ketemu lagi kan. Lagi pula kita masih bisa chatting atau email. Jangan sedih gitu dong.!!!”
”Oke, aku pergi ya sekarang. Jaga diri kamu baik-baik. Nanti kalau kamu ketemu kakak-kakakku atau keluargaku sampein salam dari aku ya. Juga buat keluarga kamu. Makasih ya Sam. Aku pergi.!!” Perlahan Kiran melepas genggaman tangannya ditanganku. Ia pun melambaikan tangan kanannya padaku. Aku tersenyum dan membalas lambaiannya.
Ku lihat jam arlojiku. Jam sudah menunjukkan pukul delapan lewat 15 menit.Aku harus pergi ke kampus. Kiran pun semakin menjauh dan semakin tak terlihat. Entah kenapa, aku ingin melihat pesawat yang ditumpangi Kiran walau ku tau bahwa aku akan telat ke kampus dan meninggalkan satu mata kuliah hari itu. Aku bergegas menuju balkon bandara untuk melihat keberangkatan pesawat Kiran. Sekitar 10 menit kemudian, pesawat tujuan Andalusia pun tinggal landas. Sekarang Kiran udah pergi. Aku hanya bisa menunggunya hingga ia kembali.
Seminggu setelah keberangkatan Kiran, aku merasa sangat merindukannya. Aku rindu suaranya,raut wajahnya yang manis dengan hidung yang seperti orang-orang di timur tengah,bibir yang merah, mata yang redup namun lentik. Kiran yang selalu berbusana lengan panjang tuk menutupi cacat tangan yang dideritanya. Rok bercorak daun yang selalu ia kenakan dengan berbagai macam warna. Juga dengan lantunan merdu lagu-lagu yang ia ucapkan. Kiran memang sosok gadis yang sangat cantik bagiku. Namun sayang kecantikkan itu perlahan pudar karena kesedihan yang harus ia hadapi. Sosok seorang bunda yang tak pernah ia temui dalam hidupnya. Ayah yang pergi meninggalkan dirinya saat dinas pergi ke Andalusia. Tak hanya itu, ia pun harus hidup dengan keadaan cacat fisik, Kiran tidak punya tangan kiri. Tangan kirinya harus diamputasi saat sejak ia lahir. Aliran darah yang tak bisa mengalir normal menghambat peredaran darahnya sehingga harus ada bagian tubuhnya yang diamputasi. Tak selesai sampai situ, masih banyak penderitaan yang Kiran hadapi dalam hidupnya. Tiba-tiba aku terkaget dengar suara handphone-ku yang berdering. Langsung ku angkat telepon dari nomor rumah Kiran.
”Samita?”Suara seorang wanita di ujung telepon.
“Iya, Ka’ Dhafa ya? Ada apa ?” Tanyaku berbalik.
“Kiran,Kiran, meninggal..!!!!”Jawab Dhafa dengan suara pelan menahan tangis.
Tersentak kerongkonganku tertahan. Tak percaya akan apa yang baru saja ku dengar. Sahabat yang ku kenal selama ini yang minggu lalu ku antar ke bandara sekarang telah tiada. Ia telah menemui sang khalid, menyusul kedua orang tua yang ia sayangi. Sang bunda yang tak pernah ia rasakan kasih sayangnnya. Sosok seorang ayah yang hanya sebentar ia temui dalam hidupnya. Handphone abu-abu yang ku punya terbanting ke lantai. Sungguh sangat tak bisa ku percaya. Kiran meninggal dalam keadaan yang tak bisa ku percaya. Ia terndam dalam bathtub. Kiran ditemukan oleh seorang karyawan wanita yang penasaran karena sudah 2 hari Kiran tidak terlihat. Bathtub dengan genangan darah menjadi saksi atas meninggalnya seorang gadis mungil yang haus akan kasih sayang. Mungkin ia kan lebih tenang dialam sana. Aku tak pernah tau tentang apa yang ia rasakan, namun dia adalah bagian hidupku yang sangat berarti. Ia membuatku mengerti akan hidup. Terima kasih Kiran, semoga kau dapatkan kebahagiaan dialam sana.
Ku buka lemari cokelat. Ku tarik sepasang pakaian hitam yang telah lama tak ku kenakan. Andalusia memang lautan darah. Seorang ibu, ayah, beserta sesosok gadis mungil meninggalkan dunia ini disana. Andalusia, ya Kiranitania Andalusia, kini ku kenakan pakaian hitam ini tuk mengunjungimu terakhir kalinya. Kain putih panjang membalutimu tuk terus menemanimu selamanya dialam sana. Selamat jalan sahabatku..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar